Moment 1 Mei 2015 kembali mengingatkan tanah
ini soal bergabungnya Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Meski masih ada yang beda paham, namun beberapa tokoh memberikan
pencerahan sesuai keadaan yang dirasa.
SEPANJANG ruas jalan protokol dari batas
kota Waena hingga Kota Jayapura tak sedikit dipajang bendera merah putih yang
terlihat mengkilap. Di beberapa titik daerah ketinggian seperti bukit ataupun
gunung juga terlihat satu atau dua bendera yang dipasang sebagai bentuk bahwa
kedaulatan negara nyata di atas tanah ini. Empat tokoh mulai dari Wali Kota
layapura, Dr Drs Benhur Tommy Mano, MM, Herman A.T Yoku, Ketua Presiden
Mahasiswa Uncen Yohan Wanbitman dan putra Alm. Theys Eluay, Yanto Eluay
akhirnya angkat bicara.
Menurut Benhur Tommy Mano moment 1 Mei
merupakan waktu kembalinya Papua ke NKRI setelah menjalani masa sulit dalam
penjajahan Belanda. Pihaknya sendiri tengah mempersiapkan tempat untuk upacara
bersama di Taman Imbi sebagai bentuk penghargaan terhadap para pahlawan. Ia pun
menyampaikan bahwa 1 Mei merupakan waktunya berbicara bagaimana berkarya untuk
tanah yang dijunjung.
"Kita akan mememperingati hari
kembalinya Irian Barat ke pangkuan NKRI dan saya ingin sejarah ini jangan
diputarbalikkan, saya ingin cerita sejarah ini disampaikan dengan benar, jangan
dipelintir dan diputar-balikkan. Apa yang terjadi saat itu seperti inilah kita
sekarang," kata Tommy Mano di Waena, Senin(26/4). Menurutnya cerita
sejarah ini harus diketahui dan dipahami secara baik mulai dari tingkat PAUD,
SD, SMP hingga SMA bahwa 1 Mei adalah waktu Papua menyatu dengan NKRI dan
jangan diputarbalikkan. "Upacaranya akan dilakukan di Taman Imbi sebagai
bentuk penghargaan kepada pahlawan Papua saat itu," imbuhnya.
Tommy Mano melihat bahwa setelah bergabung
dengan NKRI, kondisi Papua jauh lebih baik dan dirinya ingin membawa Kota
Jayapura menjadi mininya Indonesia dengan keberagaman dan bentuk saling
menghargai antar umat yang sudah terbangun baik selama ini.
"Ingat siapa yang menabur kebaikan pasti
mendapat balasan kebaikan, namun siapa melakukan kejahatan pasti Tuhan juga
akan membalas, saya berkerja dengan tulus untuk masyarakat kota, mari bersama
menjaga kota sebagai rumah bersama," himbaunya.
Tokoh Adat Masyarakat Keerom, T. A Herman
Yoku menambahkan bahwa 1 Mei menjadi sangat berharga baginya. Ada makna
perjuangan yang tak bisa dibeli dengan apapun, namun bisa dirasakan hingga
kini. "Saya anak pejuang dan ayah saja meninggal tanpa tanda jasa negara,
namun saya tak pernah menuntut. Ayah saya menaikkan bendera ketika Soekarno
memerintahkan dan tertembak lalu dibuang di Boven Digoel dan sehari kemudian
bertemu Soekarno di sana," kata Yoku via telepon.
la menegaskan bahwa saat ini tak ada lagi soal
tahun 1960 sudah ataupun 1963, semua dikatakan sudah habis dan Papua resmi
bagian dari NKRI. Dari semangat sang ayah inilah menular kepadanya dan pada
tahun 2007 ia berani menolak dikibarkannya bendera bintang kejora di Koya Timur
dan ia justru mempertegas bahwa 1 Mei 1963 Papua ke NKRI menjadi harga mati dan
saat ini bukan waktunya bicara sejarah melainkan bagaimana memanfaatkan hasil
perjuangan pendahulu.
"Seluruh pemuda Papua, akan lebih tepat
jika berbicara soal pembangunan. Ingat dulu jaman Belanda anda bisa menghitung
berapa orang yang diizinkan kuliah oleh Belanda, Saat itu orang pintar dibatasi
tapi saat ini semua yang punya kesempatan, silahkan sekolah setinggi mungkin
dan jangan katakan itu bisa terjadi tanpa pengorbanan pejuang dulu,"
bebernya.
Ia meminta anak Papua baik pejabat yang
sedang duduk ataupun yang berstatus mahasiswa sudah tak relevan lagi mempertanyakan
kejadian 1963 tetapi akan lebih tepat mendiskusikan bagaimana mengisi
kemerdekaan itu. "Orang Papua banyak diberi kesempatan untuk bekerja bahkan
tak sedikit yang jadi pejabat dan ingat saat missionaris masuk ke Papua mereka
juga tidak bawa senjata tetapi yang dibawa adalah Alkitab dan di dalam Alkitab
tak disebutkan bahwa Tuhan menjanjikan merdeka jadi mari berfikir Papua 50
tahun ke depan dan Papua 1000 tahun ke depan itu bagaimana," tandasnya.
Presiden Mahasiswa Uncen, Yohan Wanbitman menambahkan
bahwa 1 Mei dalam sejarah dikatakan bentuk integrasi Papua ke dalam Indonesia.
Tetapi menurut pandangan pemuda dan orang
tua sejarah yang kita belajar yang ditanamkan itu adalah aneksasi Papua kedalam
NKRI sehingga dirinya melihat bahwa seringkali 1 Mei diperingati dengan hal-hal
aksi demo, namun belajar dari pengalaman ternyata tidak membawa sebuah dampak
besar sehingga pandangan 1 Mei harus dilihat lebih dewasa dengan kita berada
dalam NKRI selama kurun waktu 52 tahun ini sebagai waktu dimana waktu untuk
belajar dan mempersiapkan diri lebih baik. "Kadang aksi 1 Mei berujung konflik
sehingga ini perlu dicermati lagi. Sejak saya masuk di Uncen saya coba merubah
paradigma ini dan memang tidak mudah, teman teman yang datang dari setiap daerah
yang rata rata pemikiran-pemikiran itu sudah tertanam pada mereka. Kami sudah
coba dengan cara yang lebih bijak dan memberi ruang seluas-luasnya untuk anak
Papua memimpin daerahnya sendiri," bebernya,
Namun dikatakan pihak lain dalam hal ini
pemerintah dan aparat juga memiliki andil mendorong paradigma
itu."Sekarang kita berpikir bagaimana memanfaatkan sisa waktu Otsus ini
karena Otsus ini tidak mungkin selamanya ada. Ketika tidak ada lagi apakah kita
siap atau tidak? Nah ini yang Sebenarnya teman-teman di kampus harus melihat
itu" sarannya.
Sementara Yanto Eluay menambahkan bahwa ada
kecenderungan 1 Mei pemuda kerap berorientasi pada peluang. Pemuda saat ini
banyak bertipikal opportunity oriented dimana melihat peluang itu ada maka disana
mereka ada. Tetapi pemuda juga sejatinya adalah barometer dari kemandirian.
"Saya sering katakan bahwa pemuda
dinilai oleh yang lebih tua dari kedewasaan dimana kita juga sebagai panutan
dari generasi yang dibawahnya. Pemuda saat ini yang menentukan generasi
berikutnya, apakah akan baik atau sebaliknya," imbuh Yanto. Namun Yanto
berharap pemerintah bisa memberi peluang seluas-luasnya untuk pemuda mengaplikasikan
kemampuannya. namun untuk 1 Mei ia pemuda Papua yang memiliki adat dan beradab
serta selalu menjaga harkat dan martabat sehingga harus benar-benar menjaga
adat.
"Pemuda Papua punya tiga status, harus
memposisikan diri sebagai warga adat, sebagai warga agama dan ketiga warga
negara republik Indonesia. "Saya pikir kita sama-sama merindukan
kenyamanan hidup dan kesejahteraan sehingga sebaiknya semua difokuskan pada ini
saja" pungkasnya.
Sumber: Cenderawasih Pos 28/04 Hal. 9 dan 11
0 komentar:
Posting Komentar